Transisi Kendaraan Listrik Menggerakkan Ledakan Nikel ‘Kotor’ Indonesia
Dalam waktu hanya empat tahun, industri nikel Indonesia telah mengalami transformasi signifikan—menjadi pemasok utama komoditas yang sangat penting bagi baterai kendaraan listrik. Namun, seiring dengan meningkatnya pentingnya, reputasi negara di Asia Tenggara ini sebagai produsen nikel ‘kotor’ juga meningkat.
Indonesia kini menjadi pemasok dominan logam ini di dunia, setelah ledakan yang dipicu oleh larangan ekspor bijih nikel mentah oleh Presiden Joko Widodo, dengan tujuan memaksa bisnis asing untuk berinvestasi di negara tersebut dan mendirikan pabrik pengolahan domestik.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok merespons dengan cepat, menginvestasikan miliaran dolar untuk mengamankan pasokan logam yang sangat penting bagi transisi dari mesin pembakaran. Perubahan ini dalam industri otomotif telah meningkatkan ekspor Indonesia, membawa masuk jumlah investasi asing langsung yang mencatat rekor, dan mengubah neraca berjalan negara tersebut.
Namun, para kritikus mengatakan bahwa semua itu datang dengan biaya lingkungan yang sangat besar dan menuduh pemerintah lebih memprioritaskan ekstraksi nikel daripada hutan hujan di negara kepulauan tersebut.
Mereka sekarang mendesak industri dan pemerintah untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan, menunjuk pada deforestasi massal yang disebabkan oleh penambangan dan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara yang hampir eksklusif untuk menggerakkan pabrik peleburan nikel. Mereka juga menuduh pabrik pengolahan mencemari sumber air.
Sayyidatiihayaa Afra, seorang peneliti di kelompok lingkungan Satya Bumi, ingin pemerintah membatasi produksi nikel. “Masalah yang paling signifikan dalam aspek lingkungan adalah deforestasi di daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi dan di hutan dengan stok karbon tinggi,” katanya.
Penurunan harga nikel global baru-baru ini telah menarik perhatian baru terhadap Indonesia. Dengan cadangan terbesar di dunia dan biaya produksinya yang rendah, negara ini diharapkan meningkatkan dominasinya dalam pasokan global seiring dengan penurunan produksi di tambang-tambang lain akibat penurunan harga.
Saat ini, Indonesia menyumbang 57 persen dari nikel olahan dunia, dan pangsa tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 69 persen pada tahun 2030, menurut Benchmark Mineral Intelligence.
Eksekutif industri mengatakan bahwa mereka berada di bawah tekanan yang semakin besar dari pembeli Barat untuk bertindak terhadap penggunaan batu bara dan praktik berbahaya lainnya terhadap lingkungan.
Menanggapi kritik tersebut, pemerintah di Jakarta mengumumkan awal tahun ini bahwa mereka akan menetapkan “peta jalan dekarbonisasi” untuk industri nikel pada awal 2025.
“Kita harus menemukan cara terbaik untuk mengakomodasi semua tujuan kita, tidak hanya ekonomi, tetapi juga lingkungan,” kata Nizhar Marizi, direktur energi, mineral dan sumber daya pertambangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.